Thursday, April 4, 2013

Posted by Unknown On 5:47 PM
Fiqh Muamalah : Syuf’ah
A. Ta’rif Syuf’ah dan hukumnya
Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliiyyah. Dahulu seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan serikat atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta syuf’ah disebut syafii’. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena pemiliknya menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya, sehingga menjadi sepasang setelah sebelumnya terpisah.
Syuf’ah menurut fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’  mengambil bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah tetap dalam akad.
Syuf’ah ini tsabit (sah) berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun.
B. Hikmah syuf’ah
Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.
Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki dihilangkan madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka dihilangkanlah madharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain, dapat menghilangkan madharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada haknya berupa bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”
C. Objek syuf’ah
Objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum diatur, maka syuf’ah masih berlaku.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.
Syaikh Taqiyyuddin berkata, “Syuf’ah tetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan dalam sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan sebagainya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad dan lain-lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di dalamnya terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada.  Hal itu, karena tetangga tidaklah menghendaki adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu dan semisalnya. Di samping itu, syariat syuf’ah adalah untuk menolak madharat, dan madharat itu biasanya terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang dimiliki, atau dalam hal jalan dan semisalnya.”
D. Syuf’ah bagi kafir dzimmiy
Sebagaimana syuf’ah berlaku bagi setiap muslim, maka berlaku juga bagi kafir dzimmiy menurut jumhur fuqaha’. Namun menurut Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy, bahwa syuf’ah tidak berlaku bagi dzimmiy berdasarkan hadits riwayat Daruquthni dari Anas secara marfu’:
لاَشُفْعَةَ لِنَصْرَانِيٍّ
“Tidak ada sytuf’ah bagi orang nasrani.” (Al Haitsamiy dalam Al Majma’ berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ash Shaghiir, dan dalam sanadnya terdapat Na’il bin Najih, ia ditsiqahkan oleh Abu Hatim dan didha’ifan oleh yang lain.” Di antara yang mendha’ifkannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi).
E. Meminta izin kepada kawan sekutu ketika hendak menjual
Bagi kawan sekutu wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum dilakukan penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia lebih berhak daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual (kepada yang lain) dan berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,” maka setelahnya kawan sekutu tidak dapat menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ia berkata:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالشُّفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رَبْعَةٍ أَوْ حَائِطٍ. لاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ شَاءَ أَخَذَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهْوَ أَحَقُّ بِهِ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi seseorang menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan jika mau, ia berhak ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum memberitahukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya.”
Dari Jabir juga ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ شَرِيكٌ فِى رَبْعَةٍ أَوْ نَخْلٍ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ رَضِىَ أَخَذَ وَإِنْ كَرِهَ تَرَكَ
“Barang siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau pohon kurma, maka ia tidak berhak menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia suka, ia berhak mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia tawarkan kepada kawan sekutunya.
Ibnu Hazm berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung menjualnya sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika sekutunya mau mengambilnya dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih berhak. Jika ternyata ia tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak berhak lagi setelahnya apabila telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia belum menawarkan (kepada kawan sekutu) seperti yang telah kami terangkan, ia pun langsung menjual kepada selain kawan sekutu, maka sekutunya berhak khiyar antara meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan mengambil bagian itu untuk dirinya dengan harganya.”
Ibnul Qayyim berkata, “Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan sekutunya. Jika ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika diizinkannya untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu lagi pada bagian ini,” maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual. Ini adalah konsekwensi hukum syara’ dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa pun), dan inilah yang benar sekali.”
Apa yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur ketika pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan salah satu di antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain, dimana ini adalah pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan izin menjualnya tidaklah membatalkannya, wallahu a’lam.
Sebagian ulama, di antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah tersebut hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum diberitahukan, namun tidak haram.”
F. Usaha helat (mencari celah) untuk menggugurkan syuf’ah
Tidak diperbolehkan mencari celah untuk menggugurklan syuf’ah, karena perbuatan tersebut membatalkan hak seorang muslim. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’:
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلَ
“Janganlah kalian melakukan seperti yang dilakukan orang-orang yahudi, sehingga mereka menghalalkan apa yang dilarang Allah dengan celah yang kecil.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Abdillah Ibnu Baththah. Menurut Ibnu Katsir, isnadnya adalah jayyid, salah seorang perawinya yaitu Ahmad bin Muhammad bin Muslim ditsiqahkan oleh Abu Bakar Al Baghdadiy, sedangkan perawinya yang lain masyhur sesuai syarat shahih, wallahu a’lam, lihat tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Baqarah: 66).
Ini pula madzhab Malik dan Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi’I membolehkan helat.
Namun madzhab kami bahwa helat dalam syuf’ah adalah haram berdasarkan hadits di atas. Syaikh Shalih Al fauzan berkata, “Syuf’ah adalah hak syar’i,  wajib dimuliakan dan haram mencari celah untuk menggugurkannya, karena syuf’ah itu disyari’atkan untuk menolak bahaya yang menimpa kawan sekutu. Oleh karena itu, jika dicari celah untuk menggugurkannya, maka ia akan mendapatkan bahaya dan sama saja melampaui haknya yang masyru’ (disyari’atkan). Imam Ahmad berkata, “Tidak boleh satu pun mencari celah (helat) untuk membatalkan syuf’ah dan membatalkan hak seorang muslim.”
Di antara helat yang kadang dilakukan untuk menggugurkan syuf’ah adalah menampakkan bahwa ia telah menghibahkan bagiannya kepada orang lain, padahal sebenarnya telah menjualnya. Termasuk juga helat untuk membatalkan syuf’ah adalah menaikkan harga secara zhahir, sehingga kawan sekutunya tidak bisa membayarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tindakan apa saja yang diketahui di atas dasar helat (cari celah) untuk menggugurkan syuf’ah, maka ini batal dan hakikat akad itu tidaklah berubah dengan berbedanya ungkapan.”

Posted by Unknown On 5:33 PM

Fiqh Muamalah : Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah
Pengertian
Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.

Sedangkan muzara’ah dan mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau tanah dengan penggarapnya, namun yang dipersoalkan di sini hanya mengenai bibit pertanian itu. Mukhabarah bibitnya berasal dari pemilik lahan, sedangkan muzara’ah bibitnya dari petani.
Rukun Menurut Jumhur
  1. Pemilik Tanah
  2. Penggarap/Petani
  3. Objek Muzara’ah
  4. Ijab dan Qobul
Syarat
  1. Aqidaini (berakal)
  2. Tanaman, adanya penentuan macam tanam yang akan di tanam
  3. Perolehan hasil tanaman, Prosentase harus jelas, bagian antara amil dan malik harus dari jenis barang yg sama
  4. Tanah, dapat di tanam, dan di ketahui batas-batasannya.
  5. Waktu, harus di tentukan
Hukum
Aqad musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah telah disebutkan di dalam hadits yang menyatakan bahwa aqad tersebut diperbolehkan asalkan dengan kesepakatan bersama antara kedua belah pihak dengan perjanjian bagi hasil sebanyak separo dari hasil tanaman atau buahnya.

Dalam kaitannya hukum tersebut, Jumhurul Ulama’ membolehkan aqad musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah, karena selain berdasarkan praktek nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa melakukan aqad bagi hasil tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan karena bagi pemilik tanah/tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam mengolah tanah atau menanam tanaman. Sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak punya modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang dirugikan.
Persamaan dan Perbedaan
Adapun persamaan dan perbedaan antara musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah yaitu, persamaannya adalah ketiga-tiganya merupakan aqad (perjanjian), sedangkan perbedaannya adalah di dalam musaqah, tanaman sudah ada, tetapi memerlukan tenaga kerja yang memeliharanya. Di dalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh pengggarapnya, namun benihnya dari petani (orang yang menggarap). Sedangakan di dalam mukhabarah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh pengggarapnya, namun benihnya dari pemilik tanah.
Hikmah
         Manusia yang mempunyai berbagai macam binatang ternak, seperti kerbau, sapi, dll. Dia sanggup berladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi tidak memiliki tanah. Begitu juga sebelumnya.
         Menghindari kepemilikan hewan atau tanah yang kurang bisa di manfaatkan atau di produksikan



Posted by Unknown On 5:10 PM
Fiqh Muamalah - Ijarah (sewa menyewa)
            
            Definisi:الإجارة

Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata
الأجر yang artinya العِوَض = ganti dan upah, atau al-itsabah (memberi upah). Ijarah juga diartikan بيع المنفعة = menjual manfaat. Jadi, ijarah secara lughawi bisa bermakna ganda, upah dan sewa. Antara sewa dan upah ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunakan untuk tenaga.
Secara terminologi, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya pembayaran upah (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Objek dalam akad ijarah adalah manfaat itu sendiri, bukan bendanya.
               
Terminologi Ijarah
Menurut Hanafiyah
عقد يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
Menurut Malikiyah
تسمية التعاقد على منفعة الآدمي و بعض المنقولان
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
Menurut Syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

Dasar Hukum Ijarah
QS. Al-Thalaq (65) ayat 6
فإنْ أرْضَعْنَ لَكُمْ فَأتُوهُنَ أُجُوْرَهُنَ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”

QS. Al-Qashash (28) ayat 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

HR. Ibnu Majah, al-Thabrani dan al-Tirmidzi
أعْطُوا الأجِيْرَ أجْرَهُ قَبْل أن يَجُف عَرَقَهُ
“Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”

HR. Bukhari dan Muslim
أن رسول الله ص م إحْتَجَمَ وأعْطَى الحِجامَ أجْرَه
Rasul berbekam dan membayar upah kepada yg membekamnya.

Rukun & Syarat الإجارة
1. MU’JIR adalah orang yang memberikan upah, atau orang yang menyewakan sesuatu.
2. MUSTA’JIR adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu, atau orang yang menyewa sesuatu.

Disyaratkan kepada mu’jir dan musta’jir :
orang yang baligh, barakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), saling meridhai. Juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan sehingga dapat mencegah perselisihan.

3.
Sighat (ijab qabul) antara mu’jir dan musta’jir.
Ujrah(Upah / harga sewa), disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak.
4. Barang yang disewakan (al-ma'qud ‘alaih), atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah.

Syaratnya Objek akad : dapat dimanfaatkan kegunaannya, dapat diserahkan kepada penyewa berikut kegunaannya, manfaat dari benda yang disewa termasuk perkara mubah dan bukan hal yang diharamkan, benda yang disewakan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan dalam akad. 

Macam-macam Ijarah
Perspektif objek dalam kontrak sewa (al-ma'qud ‘alaih), ijarah terbagi 3:
IJARAH ‘AIN adalah akad sewa-menyewa atas manfaat yang bersinggungan langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan untuk tempo setahun.
IJARAH ‘AMAL(  
إجارة العمل) apa yang dijadikanالمعقود عليهadalah kerja itu sendiri, yaitu upah kepakarannya dalam kerja, seperti dokter, dosen, lawyer, tukangdan lain-lain.
IJARAH MAWSHUFAH FI AL-ZIMMAH / IJARAH AL-ZIMMAH (
الإجارة الموصوفة في الذمة) yaitu akad sewa-menyewa dalam bentuk tanggungan, misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu pula. 

Dalam konteks modern misalnya tuan A menyewakan rumahnya di lokasi tertentu dengan ukuran tertentu pula kepada B, tapi rumah tersebut akan siap dalam tempo dua bulan lagi. Namun Btelah lebih awal menyewanya untuk tempoh 3 tahun dengan bayaran bulanan 2 juta.Ini Ijarah Fi Al-Zimmah, karenamanfaat yang disewakan menjadi seperti tanggungjawab hutang ke atas A. Pemberi sewa perlu memastikan spesifikasi manfaat sewa rumah itu ditepati apabila sampai tempohnya.
Mayoritas Maliki, Syafi’idan Hanbali, Majlis Syariah AAOIFI berpendapat mubah dengan syarat-syaratnya.

                Ijarah muntahia bi tamlik (IMBT), disebut juga ijarah wal iqtina’ adalah perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa, atau dengan kata lain akad sewa yang diakhiri pemindahan kepemilikan ke tangan penyewa, biasa dikenal dengan sewa beli.
Bank dapat mempraktekkan akad ijarah ini dengan model leasing.
Kemungkinan resiko yang perlu diantisipasi dalam akad IMBT: Default (nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja), aset ijarah rusak, berhenti kontrak-nasabah tidak mau membeli aset tsb.

Sifat dan Hukum Akad Ijarah

            Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.

            Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

Berakhirnya Ijarah

1. objek hilang atau musnah, seperti rusaknya barang yang disewakan, seperti     rumah menjadi runtuh dsb
2. tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir,
3. menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad.
4. menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak
                   seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.

Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik.





Posted by Unknown On 4:56 PM



Pengusaha Muslim - Dalam praktik produk mudharabah di bank syariah terdapat persyaratan kontroversial, yaitu pihak mudharib (pengelola dana) diharuskan menjamin dana yang diberikan bank dari segala bentuk kerugian. Produk ini dianggap sebagai ijtihad baru dalam mudharabah yang tidak ada sebelumnya. Produk ini diberi nama  mudharabah musytarakah.
Mudharabah Musytarakah adalah gabungan dari dua kata mudharabah dan musytarakah.
Yang dimaksud dengan mudharabah adalah: transaksi penanaman dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian hasil berdasarkan nisbah yang disepakati oleh kedua pihak, sedangkan kerugian modal hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Musytarakah berarti: serikat, gabungan atau perkumpulan. Maka Mudharabah musytarakah hakikatnya mudharabah biasa, yang dimodifikasi untuk dijadikan produk perbankan syariah sebagai ganti dari tabungan/deposito berbunga pada bank konvensional.
Selanjutnya penulis menyebutkan definisi dan ketentuan mudharabah musytarakah yang dinyatakan oleh Majma' Al-Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI) dalam keputusan muktamar No. 123 (5/13) 2001.

Hubungan Antara Mudharabah Musytarakah dan Riba Dayn
Pada dasarnya hukum mudharabah musytarakah adalah mubah (boleh). Akan tetapi setelah mudharabah musytarakah diakui sebagai produk bank syariah, beberapa peneliti ekonomi syariah menambahkan persyaratan bahwa dana yang diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah yang  dikembangkan dalam akad mudharabah, mendapatkan jaminan dari pihak mudharib (bank sebagai pengelola dana nasabah), sebagaimana halnya yang diterapkan oleh bank konvensional. Bahkan bukan hanya pokok dana tabungan yang dijamin, termasuk juga bunga atau bonusnya. (Dr. Yusuf As-Syubaily, Khadamat Ististmariyyah fil Masharif, jilid I, hal 270. Dr. Iyadh Al-Anzy, Asy-Syuruth At-Ta'widhiyyah, jilid II, hal 761).
Para peneliti tersebut berdalih dengan mengqiyaskan mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak (orang upahan yang bekerja memberikan jasa untuk orang banyak, seperti penjahit yang menerima jahitan dari banyak orang).
Ajir musytarak berbeda hukumnya dengan ajir khas (orang upahan yang bekerja memberikan jasanya untuk orang tertentu, seperti sopir pribadi). Ajir khas tidak diwajibkan mengganti kerugian pada barang yang digunakannya, jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa ada unsur kelalaiannya. Seperti kerusakan mobil ketika kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di luar kehendak sopir pribadi. Berbeda halnya dengan Ajir musytarak, dia  diharuskan menjamin semua barang para pengguna jasanya dalam kondisi bagaimanapun juga. Kecuali jika terjadi musibah umum, seperti kebakaran yang menimpa toko penjahit akibat jalaran api dari toko yang lain. Ini pendapat dalam mazhab Hanbali. (Al Buhuty, Kasysyaful Qina', jilid IV, hal 26)
Akan tetapi dalil yang digunakan tidaklah kuat, karena tidak memenuhi persyaratan qiyas. Qiyas semacam ini dinamakan qiyas ma'al fariq (analogi dua kasus yang hakekatnya berbeda), karena ajir musytarak berbeda dengan mudharabah musytarakah. Ajir musytarak mendapat imbalan yang disepakati dari awal, sedangkan mudharabah musytarakah, pengelola mungkin mendapat laba dan mungkin tidak.
Dengan demikian, persyaratan bahwa mudharib wajib menjamin dana nasabah pada kontrak mudharabah musytarakah ditentang keras oleh para ulama sehingga Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) mengeluarkan keputusan dalam muktamar ke XIII di Kuwait, No. 123 (5/3) 2001, yang menyatakan,
"Mudharib (pengelola) adalah pihak yang menerima amanah, ia tidak menjamin dana bila terjadi kerugian, atau dana hilang, kecuali ia melalaikan amanah, atau ia melanggar peraturan syariah atau peraturan investasi. Hukum ini berlaku untuk mudharabah fardiyyah (perorangan) ataupun mudharabah musytarakah. Dan hukum ini tidak berubah dengan dalih mengqiyaskannya dengan ajir musytarak". (Journal Islamic Fiqh Council, edisi XIII, jilid III, hal 291)  
Dalil para ulama yang mengharamkan persyaratan; mudharib wajib menjamin dana pihak investor dari kerugian adalah sebagai berikut:
1. Ijma', kesepakatan para ulama sejak abad pertama hingga sekarang, bahwa jika disyaratkan agar pihak pengelola menjamin modal dari kerugian maka persyaratan ini batal dan tidak berlaku.
Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat: 682H) mengatakan, "Bila disyaratkan bahwa mudharib (pengelola) menjamin dana dari kerugian, maka persyaratannya batal, tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini". (Al Mughni, jilid VII, hal 176)
2. Perbedaan yang mendasar antara mudharabah dan qardh (kredit) adalah dana yang diterima oleh mudharib tidak dijamin dari kerugian, sedangkan dana yang diterima dari kreditur wajib dijamin oleh pihak debitur.
Jika mudharib disyaratkan menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah berubah menjadi qardh. Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi hasil sesungguhnya ia menerima bunga (riba). Karena akad mudharabahnya telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati keharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn. (Dr. Iyadh Al Anzy, Asy Syuruth At Ta'widhiyyah, jilid II, hal 762 )
Keterangan di atas adalah sinopsis artikel yang ditulis Dr. Erwandi Tarmidzi – Alumni pascasarjana univ. Muhammad Su'ud jur. Fiqh – di majalah Pengusaha Muslim edisi 25, yang terbit pada bulan maret.