Fiqh Muamalah : Syuf’ah
A. Ta’rif Syuf’ah dan hukumnya
Syuf’ah
secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah adalah
hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliiyyah. Dahulu
seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan serikat
atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih
berhak membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta
syuf’ah disebut syafii’. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan
syuf’ah karena pemiliknya menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya,
sehingga menjadi sepasang setelah sebelumnya terpisah.
Syuf’ah
menurut fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian
kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’ mengambil
bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah tetap
dalam akad.
Syuf’ah
ini tsabit (sah) berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
قَضَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ
يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum
dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka
tidak ada lagi syuf’ah.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga
rumah lebih berhak dengan rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
Para
ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum
melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun
kebun.
B. Hikmah syuf’ah
Hikmah
disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang
mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang
dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin
timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya
tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan
bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.
Ibnul
Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha
menegakkan maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’
menghendaki dihilangkan madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh
karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka dihilangkanlah
madharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual
bagiannya dan mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak
daripada orang lain, dapat menghilangkan madharat dari serikat itu dan tidak
merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada haknya berupa bayaran. Oleh
karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan hukum
terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”
C. Objek syuf’ah
Objek
syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada
di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi,
tetapi masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti
jalan, air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat
ulama bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan
telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum
diatur, maka syuf’ah masih berlaku.
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah
قَضَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ
يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum
dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka
tidak ada lagi syuf’ah.
Syaikh
Taqiyyuddin berkata, “Syuf’ah tetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan
dalam sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan
sebagainya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu
Muhammad dan lain-lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di
dalamnya terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada. Hal itu,
karena tetangga tidaklah menghendaki adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu
dan semisalnya. Di samping itu, syariat syuf’ah adalah untuk menolak madharat,
dan madharat itu biasanya terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang
dimiliki, atau dalam hal jalan dan semisalnya.”
D. Syuf’ah bagi kafir dzimmiy
Sebagaimana
syuf’ah berlaku bagi setiap muslim, maka berlaku juga bagi kafir dzimmiy
menurut jumhur fuqaha’. Namun menurut Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy,
bahwa syuf’ah tidak berlaku bagi dzimmiy berdasarkan hadits riwayat Daruquthni
dari Anas secara marfu’:
لاَشُفْعَةَ
لِنَصْرَانِيٍّ
“Tidak
ada sytuf’ah bagi orang nasrani.” (Al Haitsamiy dalam Al Majma’ berkata,
“Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ash Shaghiir, dan dalam sanadnya terdapat
Na’il bin Najih, ia ditsiqahkan oleh Abu Hatim dan didha’ifan oleh yang lain.”
Di antara yang mendha’ifkannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi).
E. Meminta izin kepada kawan sekutu
ketika hendak menjual
Bagi
kawan sekutu wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum
dilakukan penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia
lebih berhak daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual
(kepada yang lain) dan berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,” maka setelahnya
kawan sekutu tidak dapat menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
Imam
Muslim meriwayatkan dari Jabir ia berkata:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالشُّفْعَةِ فِى كُلِّ
شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رَبْعَةٍ أَوْ حَائِطٍ. لاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ
حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ شَاءَ أَخَذَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِذَا بَاعَ
وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهْوَ أَحَقُّ بِهِ.
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua persekutuan yang
belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi seseorang menjualnya
sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan
jika mau, ia berhak ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum
memberitahukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya.”
Dari
Jabir juga ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ شَرِيكٌ فِى رَبْعَةٍ أَوْ نَخْلٍ فَلَيْسَ لَهُ
أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ رَضِىَ أَخَذَ وَإِنْ كَرِهَ
تَرَكَ
“Barang
siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau pohon kurma, maka ia tidak
berhak menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia suka, ia
berhak mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan. (HR. Muslim)
Hadits
ini menunjukkan tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia tawarkan kepada
kawan sekutunya.
Ibnu
Hazm berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung
menjualnya sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika
sekutunya mau mengambilnya dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih
berhak. Jika ternyata ia tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak
berhak lagi setelahnya apabila telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia
belum menawarkan (kepada kawan sekutu) seperti yang telah kami terangkan, ia
pun langsung menjual kepada selain kawan sekutu, maka sekutunya berhak khiyar
antara meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan mengambil bagian itu
untuk dirinya dengan harganya.”
Ibnul
Qayyim berkata, “Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan
sekutunya. Jika ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika
diizinkannya untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu
lagi pada bagian ini,” maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual.
Ini adalah konsekwensi hukum syara’ dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa
pun), dan inilah yang benar sekali.”
Apa
yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur ketika
pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan salah
satu di antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain, dimana
ini adalah pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan izin
menjualnya tidaklah membatalkannya, wallahu a’lam.
Sebagian
ulama, di antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah
tersebut hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut
kawan-kawan kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual
sebelum diberitahukan, namun tidak haram.”
F. Usaha helat (mencari celah) untuk
menggugurkan syuf’ah
Tidak
diperbolehkan mencari celah untuk menggugurklan syuf’ah, karena perbuatan
tersebut membatalkan hak seorang muslim. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah secara marfu’:
لاَ
تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ
بِأَدْنَى الْحِيَلَ
“Janganlah
kalian melakukan seperti yang dilakukan orang-orang yahudi, sehingga mereka
menghalalkan apa yang dilarang Allah dengan celah yang kecil.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Abdillah Ibnu Baththah. Menurut Ibnu Katsir,
isnadnya adalah jayyid, salah seorang perawinya yaitu Ahmad bin Muhammad bin
Muslim ditsiqahkan oleh Abu Bakar Al Baghdadiy, sedangkan perawinya yang lain
masyhur sesuai syarat shahih, wallahu a’lam, lihat tafsir Ibnu Katsir pada
surat Al Baqarah: 66).
Ini
pula madzhab Malik dan Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi’I
membolehkan helat.
Namun
madzhab kami bahwa helat dalam syuf’ah adalah haram berdasarkan hadits di atas.
Syaikh Shalih Al fauzan berkata, “Syuf’ah adalah hak syar’i, wajib
dimuliakan dan haram mencari celah untuk menggugurkannya, karena syuf’ah itu
disyari’atkan untuk menolak bahaya yang menimpa kawan sekutu. Oleh karena itu,
jika dicari celah untuk menggugurkannya, maka ia akan mendapatkan bahaya dan
sama saja melampaui haknya yang masyru’ (disyari’atkan). Imam Ahmad berkata,
“Tidak boleh satu pun mencari celah (helat) untuk membatalkan syuf’ah dan
membatalkan hak seorang muslim.”
Di
antara helat yang kadang dilakukan untuk menggugurkan syuf’ah adalah
menampakkan bahwa ia telah menghibahkan bagiannya kepada orang lain, padahal
sebenarnya telah menjualnya. Termasuk juga helat untuk membatalkan syuf’ah
adalah menaikkan harga secara zhahir, sehingga kawan sekutunya tidak bisa
membayarnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tindakan apa saja yang diketahui di atas dasar
helat (cari celah) untuk menggugurkan syuf’ah, maka ini batal dan hakikat akad
itu tidaklah berubah dengan berbedanya ungkapan.”
ada yg terlewat maaf...rukunnya
ReplyDeleterukun nya ngak di bahas?
ReplyDeleteiya rukunnya gak ada
ReplyDeleteiya rukunnya gak ada
ReplyDeleteSyuf'ah, padanannya dalam hukum lain apa ya
ReplyDeleteDalam b. Indonesia bisa juga disebut dengan hak beli paksa
Deletesumbernya disertakan juga akan lebih baik
ReplyDelete